Sore itu langit sempurna, awan seputih salju itu bermetamorfosis menjadi gemerlap rona merah menutup hari yang penuh kesal buatku. Jingganya langitan seakan mengajak berdansa diriku yang dekil penuh lumut keringat ini.
"Sore yang indah, sayang tak seindah hidupku .. huuuh." Ucapku sembari mengusap keringat yang mengaliri wajah ini.
Iya aku berkata hari ini sangat mengesalkan, karena banyak dari kejadian hari ini yang bisa jadi membuat dada ini seakan akan ditembakin oleh para sneper handal alias hari ini aku terkapar tak berdaya. Mulai dari pagi dimana aku harus terlambat masuk sekolah terus kena hukuman dari guru dan yang paling parah temen-temenku sekelas sukses menyempurnakan penderitaanku dengan mereka tertawa serentak menertawakan kaos kaki yang kupakai ini berbeda warna.
"Hahaha tu liat Dinda habis main sirkus dimana tu". Teriakan salah satu temanku yang seakan membuat riuh satu kelas.
Aku ingat juga kata-kata Rendy yang sumpah banget bikin hati ini panas, "Dinda sayang mau kemana sih cantik banget kayak badut di perempatan ringroad aja wakakakaka .....". Sungguh sangat parah nasib aku hari itu.
Dan Rendy .. Rendy Jaya Wijaya Mahameru cowok yang manis, cakep, tampan, imut pokoknya buatku kalo ibarat makanan dia itu 4 sehat 5 sempurna deh. Iya Rendy yang jelas-jelas aku taksir sejak SD juga nge-Bully aku! "Sangat Sempurna !!! ".
Dan jujur saja pada waktu itu betapa inginya aku mengeluarkan air mata tapi aku ingat kata mama
"Dinda ingat ya jadi anak cewek itu harus strong biar laki-laki gak suka ngejailin kamu." Itu kata mutiara Mama yang membuat mataku yang tadinya bergenangan air menjadi bercahaya dan rautku yang mewek kusut kayak baju 3 hari gak dicuci ini menjadi tersenyum kembali ... hehehe.
Tetapi mungkin itu dulu saat Dinda Sastra Dewi atau aku sendiri masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Iya itu cerita ku dahulu SMP, ceritaku yang dahulu bisa jadi menyebalkan, ceritaku yang mungkin dahulu sangat sangat kusesalkan mengapa terjadi. Tetapi cerita itu sekarang sangat berarti dan cerita itulah yang menjadi satu-satunya alasanku untuk tersenyum saat ini, ditengah airmata yang mulai deras berjatuhan. Dimana masalah-masalah yang kuhadapi dan yang ada sekarang terlampau sulit membuatku tersenyum.
Mungkin Dinda yang dahulu bukan Dinda yang sekarang. Entahlah aku sendiripun sukar untuk menyadarinya. Aku yang dahulu bisa menahan tangis dari cacian temanku, aku yang dahulu kuat tetapi sekarang semua seperti berbalik 180 derajat... Aku yang sekarang lemah. Kata-kata Mama yang indah itupun serasa tak berkutik menghadapi apa yang terjadi denganku kini. Terkadang aku ingin kembali pada masa lalu, masa dimana aku hanya mengenal aneka permainan, dimana aku hanya mengenal balon atau layang-layang yang berterbangan indah di udara, masa dimana aku hanya mengenal indahnya kebahagiaan tanpa mengerti apa itu cinta yang membuatku sakit dan terluka.
Tapi itu semua dahulu, aku tak akan bisa kembali ke masa itu lagi. Yang ada hanya sejengkal kenangan-kenangan yang masih kugenggam kini sebagai pengiring dan penghibur kesendiriaanku. Iya aku yang sekarang hanya sebatang kara, tak punya siapapun termasuk mama yang dulu menjadi satu-satunya tempatku mencurahkan segala keluh dan kesahku. Lima bulan yang lalu Mama menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sangat sedih waktu itu bahwa ini akan menjadi awal dari kesendirianku tapi di sisi lain aku senang akhirnya penderitaan Mama usai sudah, setelah sekian lama beliau menahan rasa sakit karena penyakit kanker rahimnya itu. Aku bilang sangat senang karena aku tak mampu lagi melihat Mama yang menahan sakit itu sendiri bertahun-tahun. Mama berbaring di atas ranjang putih penuh infus dan seakan nyawanya dipermainkan, dan aku tak sanggup untuk mendeskripsikan lagi bagaimana rasanya ketika aku menjadi Mama ... "Sangat sakit !!" Ucapku diantara tetesan airmata yang mulai mengalir.
Mama pergi dengan amat tenang dan damai, dengan senyum kecil yang sangat indah dan sejuk. Kala itu kala jenazah Mama disemayamkan ku sempatkan menitipkan, menitipkan secarik kata-kata dan doa untuk mama.