Selasa, 04 Juni 2013

Terimakasih



     Sore itu langit sempurna, awan seputih salju itu bermetamorfosis menjadi gemerlap rona merah menutup hari yang penuh kesal buatku. Jingganya langitan seakan mengajak berdansa diriku yang dekil penuh lumut keringat ini.

 "Sore yang indah, sayang tak seindah hidupku .. huuuh." Ucapku sembari mengusap keringat yang mengaliri wajah ini.

    Iya aku berkata hari ini sangat mengesalkan, karena banyak dari kejadian hari ini yang bisa jadi membuat dada ini seakan akan ditembakin oleh para sneper handal alias hari ini aku terkapar tak berdaya. Mulai dari pagi dimana aku harus terlambat masuk sekolah terus kena hukuman dari guru dan yang paling parah temen-temenku sekelas sukses menyempurnakan penderitaanku dengan mereka tertawa serentak menertawakan kaos kaki yang kupakai ini berbeda warna.

"Hahaha tu liat Dinda habis main sirkus dimana tu". Teriakan salah satu temanku yang seakan membuat riuh satu kelas.

      Aku ingat juga kata-kata Rendy yang sumpah banget bikin hati ini panas, "Dinda sayang mau kemana sih cantik banget kayak badut di perempatan ringroad aja wakakakaka .....". Sungguh sangat parah nasib aku hari itu.

      Dan Rendy .. Rendy Jaya Wijaya Mahameru cowok yang manis, cakep, tampan, imut pokoknya buatku kalo ibarat makanan dia itu 4 sehat 5 sempurna deh. Iya Rendy yang jelas-jelas aku taksir sejak SD juga nge-Bully aku! "Sangat Sempurna !!! ".
    
      Dan jujur saja pada waktu itu betapa inginya aku mengeluarkan air mata tapi aku ingat kata mama
"Dinda ingat ya jadi anak cewek itu harus strong biar laki-laki gak suka ngejailin kamu." Itu kata mutiara Mama yang membuat mataku yang tadinya bergenangan air menjadi bercahaya dan rautku yang mewek kusut kayak baju 3 hari gak dicuci ini menjadi tersenyum kembali ... hehehe.

      Tetapi mungkin itu dulu saat Dinda Sastra Dewi atau aku sendiri masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Iya itu cerita ku dahulu SMP, ceritaku yang dahulu bisa jadi menyebalkan, ceritaku yang mungkin dahulu sangat sangat kusesalkan mengapa terjadi. Tetapi cerita itu sekarang sangat berarti dan cerita itulah yang menjadi satu-satunya alasanku untuk tersenyum saat ini, ditengah airmata yang mulai deras berjatuhan. Dimana masalah-masalah yang kuhadapi dan yang ada sekarang terlampau sulit membuatku tersenyum.
    
      Mungkin Dinda yang dahulu bukan Dinda yang sekarang. Entahlah aku sendiripun sukar untuk menyadarinya. Aku yang dahulu bisa menahan tangis dari cacian temanku, aku yang dahulu kuat tetapi sekarang semua seperti berbalik 180 derajat... Aku yang sekarang lemah. Kata-kata Mama yang indah itupun serasa tak berkutik menghadapi apa yang terjadi denganku kini. Terkadang aku ingin kembali pada masa lalu, masa dimana aku hanya mengenal aneka permainan, dimana aku hanya mengenal balon atau layang-layang yang berterbangan indah di udara, masa dimana aku hanya mengenal indahnya kebahagiaan tanpa mengerti apa itu cinta yang membuatku sakit dan terluka.

     Tapi itu semua dahulu,  aku tak akan bisa kembali ke masa itu lagi. Yang ada hanya sejengkal kenangan-kenangan yang masih kugenggam kini sebagai pengiring dan penghibur kesendiriaanku. Iya aku yang sekarang hanya sebatang kara, tak punya siapapun termasuk mama yang dulu menjadi satu-satunya tempatku mencurahkan segala keluh dan kesahku. Lima bulan yang lalu Mama menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sangat sedih waktu itu bahwa ini akan menjadi awal dari kesendirianku tapi di sisi lain aku senang akhirnya penderitaan Mama usai sudah, setelah sekian lama beliau menahan rasa sakit karena penyakit kanker rahimnya itu. Aku bilang sangat senang karena aku tak mampu lagi melihat Mama yang menahan sakit itu sendiri bertahun-tahun. Mama berbaring di atas ranjang putih penuh infus dan seakan nyawanya dipermainkan, dan aku tak sanggup untuk mendeskripsikan lagi bagaimana rasanya ketika aku menjadi Mama ... "Sangat sakit !!" Ucapku diantara tetesan airmata yang mulai mengalir.

     Mama pergi dengan amat tenang dan damai, dengan senyum kecil yang sangat indah dan sejuk. Kala itu kala jenazah Mama disemayamkan ku sempatkan menitipkan, menitipkan secarik kata-kata dan doa untuk mama.



"Ma.. ini putrimu Dinda, Dinda tidak tau lagi Ma sekarang harus bagaimana. Dinda tak berhak menyalahkan Tuhan atas kepergian Mama ataupun takdir Ma.. tak sedikitpun Dinda punya hak Ma, tapi Dinda tidak tau lagi ma harus membagi setiap keluh dinda sama siapa ... kalau tidak dengan Mama. Dinda tau Ma, Dinda tak pernah merasakan indahnya mempunyai seorang Ayah, jangankan merasakan, mengerti siapa Ayah Dinda pun Dinda tak pernah tau. Tapi Dinda pernah memiliki Mama, Dinda sangat bahagia. Kini Dinda harus berjalan sendiri Ma, entah bagaimana Dinda melalui jalanan di depan sana tanpa Mama yang menggandeng tangan Dinda. Dinda akan berusaha Ma.. Dinda akan pegang kata mama bahwa Dinda anak yang kuat. Selamat tidur Ma.. semoga Mama tenang disana bersama Tuhan. Tunggu Dinda di surga ya ma.. Love u Mam, selamat jalan...". Untaian kata-kata itu yang terakhir aku titipkan kepada Mama. Semoga Mama mendengarnya.

      Hari demi hari ku telah lalui, tak terasa aku mampu berjalan sendiri tanpa mama. Ya aku tau walau dengan aku sebagai Dinda yang lemah dan Dinda yang gampang menangis. Tetapi aku telah berusaha menjalaninya dan aku mampu. Saat ini aku masih sibuk dengan kuliahku, hampir setiap hari aku ke kampus untuk mengisi waktu luang. Biasanya aku menulis atau ngumpul bersama anak-anak unit kegiatan sastra. Sampai pada suatu saat aku bertemu dengan seseorang lelaki dan lelaki itu mengajaku untuk berkenalan satu sama lain.

"Dinda ya? Boleh kenalkah?". Kata-kata pertama yang ia ajukan kepadaku sembari ia tersenyum kecil memandangiku.

"Iya boleh saja, iya benar aku Dinda, sebentar kamu tau namaku? darimana?". Tanyaku penasaran kepada lelaki itu.

"Iya maaf sebelumnya, aku sendiri tau nama kamu sudah dari sejak apa yang gak bakal kamu kira." Jawabnya dengan nada lembut.

"Apa katamu? Gak bakal aku kira? Maksud kamu?". Nadaku mengeras mencari jawaban dari pertanyaan aneh lelaki tersebut.

"Maksudku sederhana, aku sudah lama mengenalmu malahan itu sejak kau masih menjadi Dinda yang berwajah sawo matang dan dekil." Ucapnya dengan tertawa kecil.

     Aku semakin tak mengerti apa yang orang tersebut sampaikan kepadaku, seakan-akan dia adalah orang yang datang membawa penuh misteri tentangku, entahlah aku seperti menjadi bodoh sekarang. Aku terdiam sesaat dengan raut wajahku yang aneh karena rasa penasaran yang mulai membumbung.

"Heh Dinda?"

"ooh iyaaaa??"

"Kamu ngelamunin apa?"

"Ooh enggak kok, maaf hehe"

    Aku sangat bodoh dan menjadi bertingkah bodoh, lalu ku coba menanyakan apa yang belum aku mengerti tadi.

"Maaf jujur aku tak paham dengan apa yang kamu katakan tadi, kalo boleh tau nama kamu siapa?". Tanyaku ingin mengungkap siapa dia sebenarnya.

"Oh gituu ... kenalin namaku  Jaya Wijaya Mahameru, panggil saja aku Jaya"

      Aku terdiam lagi mendengar namanya, namanya seakan tak asing lagi buat telinga ini, waktu seakan menghentikan sejenak perhelatan dahsyat hati ini, aku sedikit menerka-nerka tentang sesuatu yang indah dimasalalu yang telah lama tenggelam dalam samudra hidup yang telah aku arungi, ya seperti kota Atlantis yang telah terbenam di dasar samudra Atlantic. Aku seakan kini menemukanya tapi dalam bentuk yang beda.. Jaya Wijaya Mahameru? Rendy...?? " Terkaanku dalam hati.

"Dinda?" sahut lelaki itu

"Iya Jaya"

"Kamu kenapa lagi melamun wkwk? Aneh kamu"

"Hehe gapapa Jaya, aku hanya kaget denger nama kamu karna mirip sama teman kecilku"

"Emang siapa temen kamu?". Tanya lelaki itu kepadaku.

"Hmm yang jelas itu teman aku saat SMP dahulu ... namanya gak jauh beda denganmu dia namanya Rendy". Jawab aku dengan nada sedikit melirih.

"Rendy Jaya Wijaya Mahameru?". Sahutnya membuat aku tercengang.

"Hah ... iya benar itu nama temenku." Nadaku sedikit terbata-bata.

"wkwk Dinda.. Dinda iya ini aku Rendy, teman kecilmu". Lelaki itu berkata dengan suara yang sangat lembut.

      Aku sedikit tak percaya dengan apa yang lelaki itu katakan baru saja, aku tak yakin andai dia adalah Rendy cowok yang sempat aku suka kala aku masih berseragam putih biru dulu, sungguh aku sulit menyangka bahwa dia Rendy .... sungguh sulit.

 "Kamu benar Rendy? tunggu... tolong yakinkan aku bahwa kamu adalah Rendy??? Tanyaku untuk memastikan siapa dia sebenarnya.

"Oke Din ... kamu ingat gak aku pernah bilang kamu seperti badut di perempatan ringroad?". Ucapnya

"Badut di perempatan ringroad?" Tanyaku dalam hati
              
     Aku sedikit flashback ke masa itu dan aku menemukan kata-kata itu diucapkan Rendy, aku ingat dia berkata "Dinda sayang mau kemana sih cantik banget kayak badut di perempatan ringroad aja wakakakaka ... ". Iya dia benar Rendy!!

"Iya aku ingat ren". Ucapku padanya dengan mataku yang berbinar-binar ini.

"Hehe Syukurlah". Jawabnya dengan senyuman khasnya dulu yang terlihat kini lebih manis.
  
     Entah apa yang Tuhan rencanakan ini, jujur aku sangat bahagia bisa dipertemukan dengan Rendy kembali. Udara pengap yang kuhirup akhir-akhir ini seakan kini berubah menjadi sejuk melegakan setiap derup nafasku. Gumpalan kabut yang menyelimuti perasaan pun kini mencair menjadi embun rasa bahagia.


    Sejak Rendy hadir, tak jarang aku menghabiskan waktu bersamanya bahkan kerap kuhabiskan dari sejak pagi hingga larut malam.  Terkadang ku habiskan waktu bersamanya dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Jogja yang indah ini sembari aku berbagi cerita denganya. Salah satu hal yang kusukai adalah saat aku berbagi cerita yang diiringi candaan darinya. Aku pernah tersipu ketika ia mengatakan kepadaku, "bahwa manusia hidup dengan berdampingan walau terkadang manusia itu merasa sendiri tapi percayalah Tuhan akan silih berganti mengirim pendamping pada manusia tersebut dan itulah yang dinamakan teman atau pasangan hidup". Kata-katanya seakan mewarnai angin yang silih berganti menghempasku. Aku tak pernah bosan mencorat-coret langitan Jogja bersama Rendy, sekalipun aku tak pernah bosan.

       Rendy adalah sosok lelaki yang telah kukagumi sejak kecil kini menjelma sebagai pria yang bijaksana dan membuatku lebih kagum denganya. Dan aku tak sanggup bila harus mendustai hatiku bahwa aku mulai mencintainya. Aku tersadar bahwa betapa lama aku telah terluka karena cinta-cinta yang terdahulu. Tapi aku tak mau melukaiku sendiri dengan aku berlama-lama menyimpan perasaanku terhadap Rendy. Aku tau mungkin Rendy bukan termasuk orang yang mudah mencinta seorang wanita apalagi wanita sepertiku. Tetapi Rendy adalah  api buatku, Dimana aku seolah menjadi lilin yang pernah lama redup dan dia yang menghidupkanku kembali, menjadikan aku yang kini bahagia. Entah aku tak mengerti perasaan Rendy terhadapku, aku hanya bisa menyimpanya terlebih dahulu karena aku tak ingin merusak suasana kebersamaanku denganya yang sudah terjalin. Aku tak rela andai itu semua berakhir sia-sia.

     Tidak terasa 1 tahun sudah kebersamaanku terjalin denganya, tanpa ada status atau ungkapan cinta langsung dari bibir Rendy begitu pula dariku. Aku masih saja setia menyimpan perasaanku sendiri, yang saat ini hatiku sepenuhnya untuknya. Tetapi entah ada angin apa dengan Rendy seminggu ini, dia seakan menghilang tak menghubungiku. Resahku mulai mengkhawatirkanya, aku takut kehilanganya untuk ke dua kalinya.

    Lama aku menunggu kabar darinya tak juga kutemukan Rendy. "Dimana dia Tuhan?". Tanyaku getir. Aku masih setia menunggu sampai kapanpun itu.

    Jam 2 siang waktu setempat, ketika aku baru saja terbangun dari tidurku. Kulihat jendela kamarku terlihat lembab penuh embun. "Ternyata Gerimis". Ku membuka penuh pintu rumahku yang mungil. Aku sempat terheran ketika melihat seikat bunga mawar merah beserta benda yang mirip amplop itu. Lalu aku meraihnya, pelan kubuka amplop itu dan kubaca ...

"Untuk Dinda Sastra Dewi"

buatku kau adalah susunan huruf membentuk nama yang indah
waktu demi waktu kau kusimpan
dalam pekat rasa yang merah

denganmu aku melukis senja
membawa pelangi ditengah langit lara

malam tak pernah memuram
sejak kau kubawa diantara bulan yang temaram  

kau adalah lirik
pengiring dawai gitar yang belum sempat ku petik

aku membawa seikat mawar
kuharap cintaku tak kau tawar

pada lintas waktu
aku tak ingin menunggumu
aku tak ingin melukaiku

udara yang pernah kita warnai
kini ku genggam
ku persembahkan segenggam rasa

untukmu ..
seikat mawarku ..
untuk aku bawa penuh cintaku

untukmu
selembar suratku
ijinkan aku untuk meminangmu

membawamu
duduk di atas kursi pelaminan
bersama diriku


Jaya Wijaya Mahameru ( Rendy )


     Ku tutup pelan amplop itu. Betapa bahagianya aku membacanya, mataku seolah ikut berbicara dengan membawa airmata haru. Terimakasih tuhan ... Terimakasih Mama ... Terimakasih Rendy ... Terimakasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar