Selasa, 25 Maret 2014

Perihal Kedatangan dan Kepergian



“Kamu tahu kan, kalo aku sayang sama kamu?” 

“Enggak.” Perempuan di depanku ini langsung menarik wajahnya menjauh.

“Kamu,” aku menyapu lembut wajahnya sambil mencoba mendekatkan lagi wajahnya, “adalah perempuan yang mampu membuatku percaya bahwa cinta itu benar ada dan kamu harusnya tahu, aku beneran sayang sama kamu.” Aku mengecup lembut bibirnya, tak peduli sebarapa banyak orang yang lalu lalang di sekitar kami memperhatikan. 

Perempuan ini, lima tahun yang lalu pernah membuatku jatuh hati sekaligus patah hati. Perempuan yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kali dan membuatku patah hati berkali-kali, sebab percaya bahwa cinta selalu punya kaki untuk melangkah pergi dan berhasil membuat hatiku mati untuk siapapun yang mendekati. Setelah keputusannya untuk pindah dari Bali, sejak saat itu kami memutuskan untuk mengakhiri. Dia tak pernah percaya pada hubungan jarak jauh yang tak diselingi oleh orang lain dan berkata, jika cinta di antara kami benar ada, hidup selalu punya cara untuk mempertemukan. 

Sebulan yang lalu dia ditugaskan sementara di Bali, kedatangannya membuatku percaya bahwa cinta selain punya kaki untuk pergi, ia juga bisa melangkah untuk kembali. Perasaanku terhadap perempuan ini ternyata hanya mati suri, debaran saat melihat senyumnya lagi serupa jatuh cinta pertama kali. 


Bandara pukul delapan malam memang tak pernah sepi, dipenuhi rahasia-rahasia kecil perihal kepergian dan kedatangan pada langkah kaki. Di sinilah kami, perempuan yang membuatku jatuh cinta lagi ini harus pergi meninggalkan Bali kembali. Entahlah, episode semacam apalagi yang kelak mampir setelah ini.

“Kapan kamu akan kembali?” Tanyaku kemudian. 

“Kapan kamu akan Bandung?” Perempuan itu menyeringai dengan tatapan yang kerap membuatku ingin bunuh diri. 

“Hahaha, kamu bisa banget ya, ngejawab pertanyaan dengan pertanyaan.” 

“Kamu tahu kan, aku kemungkinan besar tidak akan kembali lagi ke Bali. Makanya, kamu jangan nunggu, cari saja kebahagiaan baru atau kalau perlu cari aku ke Bandung. Bagaimana?”

 “Doain aku biar dapet rezeki yang banyak ya, biar bisa susulin kamu ke Bandung.” Kataku sambil mengacak lembut poninya. 

“Iya, pasti kok.” Perempuan itu melihat arloji perak di tangan kanannya dan menengok sepintas pintu keberangkatan.

“Aku… pergi sekarang ya?” “Sekarang?” “Iya, pesawatku 20 menit lagi bakal boarding. Aku pamit sekarang ya?” Aku langsung beranjak berdiri.

Perempuan itu langsung beranjak berdiri, “kamu kok gak romantis banget sih, berdiri gitu aja! Aku kan udah mau pergi, romantis dikit kenapa sih. Kamu tuh ya, gak pernah berubah!”

Perempuan itu kesal dengan manjanya, tanpa menunggu lebih lama lagi aku memeluknya dengan sangat erat. “Jaga diri kamu baik-baik ya.” Kataku sambil mencium pelipisnya.

Lidah perempuan itu seperti tak bernyawa dan hanya membalas dengan pelukan yang jauh lebih erat. Kami saling berdoa dalam lengan yang tak berjarak dan dada yang semakin sesak menahan isak. 

Ah, seandainya aku bukan seorang pria, menangis sudah pasti dianggap wajar oleh siapa saja. 

Aku melepaskan pelukan dengan sangat perlahan, berharap waktu bisa dibekukan agar perempuan ini tak harus meninggalkan lagi jejak kepergian di pintu keberangkatan. 

“Selamat tinggal, aku harap hidup berbaik hati mempertemukan kita lagi, “ matanya mulai berembun dan berusaha disembunyikannya di balik sebuah senyuman, “terima kasih, untuk semuanya.” 

Aku tersenyum dan menggenggam erat tangannya,

“aku sayang kamu.” “Aku sayang kamu.” Ia mulai melepas genggamanku secara perlahan. Senyumnya lirih, tahu semua ini ia tak seorang diri yang merasakan perih. Matanya mulai dijatuhi hujan bulan Juni seraya menggendong tas ke punggungnya yang ringkih. 

Kakinya mulai melangkah pergi dan sesekali menenggok kembali. Waktu berjalan begitu lambat saat ini, aku benci jika harus mengakui bahwa aku membencinya yang kerap meninggalkanku untuk kedua kali; aku benci jika harus mengakui bahwa aku mencintainya dan lumpuh kaki untuk menjadikannya satu-satunya di sisi. Tubuhnya perlahan hilang ditelan manusia-manusia yang tak lelah melangkah pergi, dan sekali lagi, aku patah hati.

Seandainya, aku bukan seorang pecundang yang ingkar pada hati sendiri, sudah pasti ia yang akan kujadikan istri. Aku memang mencintainya, tapi tak mungkin mengejarnya ke Bandung kini, hidupku ada di sini. 

Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi cepat, sebuah pesan singkat masuk. Segera kurogoh telepon genggam itu di dalam saku bajuku dan membaca pesan di dalamnya. 

“Pah, pesawatku udah landing. Jemput di pintu kedatangan ya. Mama kangen sama papa, see you soon.” 

Segera kumasukkan telepon genggamku ke dalam saku dan melangkahkan kakiku dengan terburu-buru ke pintu kedatangan yang tak jauh dari situ. Hidup seperti yang kau tahu, hanya perihal kedatangan dan kepergian, bukan?




Maret 2014
PANJI MP




Tidak ada komentar:

Posting Komentar